CERPEN: Tanpa Sadar, Aku Menolongnya Hidup

Tanpa Sadar, Aku Menolongnya Hidup

Semasa duduk di Sekolah Menengah Atas, aku pernah mempunyai pengalaman yang mengesankan dengan seorang teman bernama Ridwan (bukan nama sebenarnya). Sebenarnya aku dan Ridwan bukanlah teman karib, tapi ada satu peristiwa yang menjadikan kami dekat sampai sekarang.

Saat itu, 15 tahun yang lalu, aku sedang duduk-duduk di teras rumah. Tiba-tiba aku melihat seorang cowok yang sebaya denganku, sedang naik sepeda lalu jatuh tersungkur tepat di depan rumahku. Isi tas plastik pemuda itu tumpah dan berhamburan ke luar. Tanpa berpikir panjang, aku segera menolongnya. Aku membantunya berdiri dan mengumpulkan barang-barangnya yang berserakan di jalan.

Aku masih ingat betul barang apa saja yang tercecer dari plastik tersebut. Ada obat serangga, tali, dan beberapa barang lain yang dibawa pemuda itu. Setelah terkumpul, ia akhirnya sudah masuk ke dalam tas plastiknya lagi. Aku juga melihat kaki pemuda itu terluka karena jatuh tadi, maka aku pun memintanya mampir sebentar agar lukanya bisa diobati.

Pemuda itu pun menyetujuinya dan kami berdua akhirnya masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah, aku akhirnya membuka percakapan dengan pemuda itu, yang akhirnya kuketahui bernama Ridwan. Lama sekali kami berbincang sehingga kami menjadi akrab dalam sekejap. Mungkin karena umur kami juga tidak berselisih jauh. Aku dan Ridwan berbicara tentang sekolah, hobi, guru, dan hal-hal lain yang biasa diceritakan remaja SMA. Semenjak peristiwa itu, aku dan Ridwan menjadi dekat dan bersahabat baik.

Saat lulus SMA, tak sengaja, aku dan Ridwan diterima di sebuah universitar negeri yang sama. Hal ini semakin menambah keakraban kami. Kami menjadi semakin dekat dan dekat. Meski beda jurusan, namun kami mengontrak di rumah yang sama dan selalu meluangkan waktu untuk berbincang, termasuk berbagi masalah pribadi alias masalah pacar. Walau akrab, bukan berarti tidak ada ribut-ribut kecil yang mengiringi perjalanan persahabatan kami.

Namanya orang hidup, tentu ada masalah yang dihadapi, namun kami berhasil melaluinya dengan baik sehingga persahabatan kami tak pernah tertanggu.

Hingga akhirnya, kami pun lulus di tahun yang sama. Beberapa hari sebelum wisuda Ridwan menemuiku, seperti biasa kami saling mengobrol ngalur ngidul seolah akan segera berpisah dan tidak bertemu lagi. Lebay memang, tetapi begitulah bila aku punya seorang sahabat karib.

“Hey, Rafi. Tahukah kamu bahwa jika kamu tidak menolongku dulu, mungkin selamanya aku tidak akan kenal denganmu. Kamu memang sahabat terbaikku.” tutur Ridwan padaku.
“Haha, biasa ajalah. Memangnya kenapa?” aku balas bertanya.
“Maaf, jika aku tidak pernah bercerita tentang ini. Masa-masa pertemuan awal kita dulu adalah masa-masa kritis dalam hidupku.” Ridwan mulai bercerita.
“Waktu itu, usaha bapakku bangkrut, dia terlilit banyak hutang. Sedangkan ibuku malah lari dengan lelaki lain. Aku selalu jadi korban emosi bapak. Waktu itu saya kecewa sekali dengan mereka dan ingin bunuh diri. Tetapi, waktu sehabis membeli racun serangga dan juga tali untuk bunuh diri, sepedaku malah terpeleset di depan rumahmu dan kamu menolongku. Keakraban dan ketulusanmu waktu itu seolah-olah bercerita bahwa masih banyak orang baik di sekitarku. Aku merasa tidak sendiri lagi waktu itu. Aku melihat ada harapan. Canda dan sikapmu membuatku membatalkan niat bunuh diriku. Thanks, bro! entah sadar atau tidak, engkau sudah menyelamatkan nyawaku.” demikian kejujuran Ridwan.
“Astaga! Jadi obat serangga dan tali itu? Untuk bunuh diri?” Aku memandangnya tak percaya.
Ridwan mengangguk. “Tapi itu semua tidak terjadi. Tuhan menolongku lewat tanganmu. Terima kasih sekali lagi, sahabat,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca. Ia memelukku erat sekali.

Demikian kisah persahabatanku dengan Ridwan. Setelah kami lulus, ia menikah dengan teman satu jurusannya, sementara aku masih betah menjomblo. Sebuah pengalaman yang tak mungkin kulupakan seumur hidupku.

0 komentar

Posting Komentar